Musuh
Penindas, Martir Kaum Tertindas
Martir Oscar Romero
Sekitar
satu decade silam, di kalangan peminat Teologi Pembebasan, tersebar keyakinan
bahwa indikator terakomodasinya teologi pembebasan ke dalam Gereja Katolik
adalah beatifikasi dan kemudian kanonisasi Uskup Oscar Romero. Dan keyakinan
itu mulai menjadi kenyataan, ketika Paus Fransiskus memaklumatkan 3 Februari
2015 bahwa Uskup Oscar Romero dibunuh karena keteguhannya membela iman
Kristiani. Mereka membunuh Oscar Romero karena “kebencian mereka pada iman”.
Apa yang dinyatakan Paus Fransiskus,
Paus pertama dari Amerika Latin, sesungguhnya mengingatkan kembali apa yang
diserukan Paus Benediktus XVI (Mei 2007), “Uskup Agung Romero sungguh seorang
saksi iman yang besar, dia adalah pribadi dengan kebajikan Kristiani sejati”.
Paus Fransiskus sendiri sebenarnya, sejak tahun 2013 memperlihatkan hasrat kuat
untuk menyatakan Uskup Romero sebagai orang suci. Ia menanda-tangani dekrit
yang mengakui Uskup Romero sebagai seorang martir. Jika kemartiran diakui maka
tuntutan akan adanya mukjizat tidak lagi perlu untuk proses beatifikasi.
Sebaliknya, tuntutan itu tetap perlu untuk proses kanonisasi.
Pengakuan akan Uskup sebagai martir
sesungguhnya suatu hal “aneh”, karena dalam kenyataannya selama tiga tahun
menjadi Uskup Agung San Salvador (1977-1980) ada berkilo-kilo surat yang sampai
di Roma berisi laporan bahwa dia adalah seorang politisi dan pengikut setia
teologi pembebasan. Oleh sesame Uskup di El Salvador dia dikucilkan, juga
ketika dia dibunuh, tak ada uskup El Salvador yang hadir dalam misa pemakaman.
Ia dikenal sebagai musuh politik rezim militer El Salvador. Oscar Romero
dianggap membahayakan Gereja karena afiliasi dan komitmennya terhadap para
petani dan buruh, orang-orang miskin dan tertindas di El Salvador.
Darah kemartiran mengalir deras
dalam diri Romero. Selama menjadi Uskup Agung San Salvador, dari mimbar
khotbah, tak secuil ketakutan pun diperlihatkannya ketika suaranya menggelegar
menghunjamkan kata-kata kebenaran ibarat pedang yang menusuk kebusukan dan
kekejian kekuasaan rezim militer yang berkuasa di El Salvador sejak tahun 1931.
Bukan hanya mibar kotbah, stasiun-stasiun radio mengabarkan suara kenabiannya
ke seluruh negeri, membangunkan kesadaran kaum miskindan tertindas bahwa
bukanlah kehendak Allah bahwa segelintir orang memiliki segala sesuatu, sementara
sebagian besar orang tidak memiliki apa-apa.
Yang dihadapi Romero bukan saja
rezim militer yang brutal, tetapi juga para Uskup yang
menikmati”perselingkuhan” dengan rezim militer yang ditopang Amerika Serikat,
dari pada berbelarasa dengan masyarakat dan umat yang tertindas di seluruh El
Salvador. Yohanes Paulus II, yang menduduki tahta Petrus saat itu sempat
menerima Oscar Romero di Vatikan, 11 Mei 1979. Romero menjelaskan betapa sulit
baginya bekerja sama dengan para Uskup El Salvador yang bersekongkol dengan
rezim militer yang menjadikan para imam dan religious pro-rakyat kecil target
pembunuhan.
Amat memperihatinkan bahwa para
uskup konservatif yang memberkati tank-tank militer mempersalahkan teologi
pembebasan ketika kaum militer menyerang Gereja-Gereja, membunuh pejuang
keadilan, tak terkecuali imam dan biarawan-ti Oscar Romero dikambing-hitamkan
bahwa kekejaman militer justru disebabkan oleh kritik-kritik yang
disampaikannya secara terang benderang. Oscar Romero dilaporkan ke Roma.
Dalam pertemuan dengan Yohanes
Paulus II, Oscar Romero diingatkan bahwa menjaga kesatuan para uskup adalah
pokok. Beliau mengacu kepada pengalamannya selama rezim komunis di Polandia.
Nasehat bagus itu tidak pas untuk kondisi El Salvador. Yang dihadapi di
Polandia adalah rezim non-Katolik (ateis) yang menghambat pewartaan iman
Gereja. Masalah di El Salvador bukan memperkuat kesatuan para uskup, tetapi
rezim militer represif dan brutal yang saban hari mencabut nyawa-nyawa rakyat
dan pejuang kebenaran dan keadilan.
Sadar setelah menjadi Uskup Agung
Remember Oscar Romero, A "Voice For The Voiceless"
|
Uskup Romero dengan nama lengkap
Romero dengan nama lengkap Oscar Arnulfo y Gooldamez, lahir 15 Agustus 1917 di
Cuildad Barrios, daerah pegunungan El Salvador yang berbatasan dengan Honduras.
Kendati secara ekonomis lebih baik dari tetangga mereka, keluarga Romero tidak
menikmati terang listrik dan kran air di rumah mereka. Mereka pun hanya tidur
di lantai. Di masa kecil ia bekerja pada seorang tukang kayu dan memperlihatkan
kemampuan luar biasa sebagai tukang kayu dari Nazareth.
Pada usia 13 tahun ia masuk seminari
kecil di San Miguel dan kemudian dikirim belajar ke Roma di Universitas
Gregoriana dan ditahbiskan imam tahun 1942. Setelah menyelesaikan lisensiat di
bidang teologi, dia meneruskan ke tingkat doktorat dengan spesialisasi Teologi
Asketik. Karena kekurangan Imam di El Salvador, maka studinya dihentikan dan
dia kembali menjadi pastor di desa. Karena kemampuannya dia diangkat menjadi
rector Seminari Inter Diosesan dan Sekretaris Dioses San Miguel.
Tahun
1970 ditahbiskan menjadi Uskup Auxilier untuk Keuskupan Agung San Salvador.
Uskup Agung saat itu adalah Luis Chaves y Gonzales yang amat bersemangat
menerapkan pembaharuann dalam keskupan sejalan dengan Konsili Vatikan II.
Sebagai Uskup Agung dia amat progresif dalam hal berpasoral dan ternyata
semangat Uskup Agung itu tidak disenangi Romero yang menempatkan diri sebagai
seorang konservatif.
Semangat konservatif itulah yang
menjadi modal utama Romero, sehingga dia disukai nuntio yang mempromosikannya
ke Roma menggantikan uskup Chaves tahun 1977. Konservatisme Romero berubah
total ketika sahabat dan rekannya Rutilio
Grande, seorang Jesuit dan pembela kaum tertindas ditemukan tewas di tangan
pembunuh bayaran dari Rezim militer yang bersekongkol dengan orang-orang kaya.
Hari itu, 12 Maret 19777, di hadapan jasad Rulitio Grande, romero berujar,
“jika mereka membunuh dia, karena apa yang dikerjakannya, maka aku pun juga
mesti menjejaki jalan yang sama:. Romero berbalik, dari seorang konservatif
menjadi seorang pejuang keadilan dan kebenaran.
Sejak saat itu, tak ada yang mampu
menghentikan perjuangannya. Saban hari dia membaca dan mendoakan korban
kekejaman pembunuh bayaran, yang didukung putra Presiden El Salvador. Ia
menulis surat Pastoral, yang kemudian dikukuhkan dengan judul, “Voice of the Voiceless)”. Pilihan yang
diambilnya membuka kesadaran dan keyakinan bahwa kematian di moncong senjata
pembunuh bayaran adalah soal waktu saja. Sekali waktu dia berujar, “jika mereka
membunuh saya, maka saya akan bangkit lagi dalam diri rakyat El Salvador”.
Romero benar, sore itu, tanggal 24
Maret 1980, seusai kotbah, seorang pembunuh bayaran melongos masuk ke Gereja
dan menyemburkan peluru ke tubuh Romero. Rakyat El Salvador berduka. Tetapi di
pemukiman-pemukiman orang kaya, malam itu kembang api bertebaran di udara dan
meja-meja perjamuan menjamur di rumah-rumah mewah. Prelat berjubah ungu hanyut
dalam pesta dan suka cita karena kematian Romero, yang dituduh merusak hubungan
Gereja dan Pemerintah.
Romero tidak mati. Dunia menghargai
dan memujanya. Tahun 1981 dia mendapat hadiah Nobel dan telah dicalonkan sejak
tahun 1978. Ia kembali bangkit dalam diri rakyat El Salvador.
“sebelum
mereka membunuh dia, jumlah kami hanyalah ratusan orang. Tetapi setelah mereka
membunuh dia, jumlah kami menjadi beribu-ribu”. Kata seorang mantan geriliawan
El Salvador. Kini Romero bangkit lagi hati kaum beriman. Gereja Katolik, telah
membeatifikasi Uskup Romero 23 Mei 2015. Sukacita dan anugerah Pentekosta bagi
Gereja dan rakyat El Salvador, teladan kenabian bagi para petinggi Gereja.***
Judul dan isi
tulisan diolah dari
Peter C. Aman,
OFM
Majalah Gita
Sang Surya Vol. 10, No. 4 Juli – Agustus 2015
0 komentar:
Posting Komentar