![]() |
Dalam
putusan yang dibacakan majelis hakim konstitusi yang dipimpin Mahfud MD dalam
sidang di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa 21 Oktober 2008, Mahkamah
Konstitusi menolak permohonan Amrozi, Muklas, dan Imam Samudra yang
mempersoalkan hukuman mati dengan cara ditembak. Mahkamah Konstitusi (MK)
menegaskan tidak ada satu cara pun yang menjamin tiadanya rasa sakit dalam
pelaksanaan pidana mati. Semua mengandung risiko terjadinya ketidaktepatan yang
menimbulkan rasa sakit.
Dalam Putusannya, MK
menegaskan bahwa tata cara pelaksanaan hukuman mati di Indonesia adalah menurut
UU No.2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati yang merupakan lex
specialis yang menegasikan pasal 11 KUHAP. Lebih lanjut, MK menyatakan UU No.
2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelakasaan Hukuman Mati yang dijatuhkan oleh
Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer tidak bertentangan dengan
Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Di tengah pro-kontra wacana
terhadap hukuman mati di Indonesia, prinsip dasar atas penghormatan fundamental
terhadap HAM semestinya menjadi pijakan utama. Hak untuk hidup (right to life);
merupakan kategori hak yang tidak bisa dilanggar, dikurangi serta dibatasi
dalam keadaan apapun, termasuk dalam batasan regulasi formal. Apalagi, hal ini
secara jelas tercantum dalam Konstitusi RI. Mahkamah Konstitusi, sebagai
pengawal pelaksanaan UUD 1945, seharusnya menjalankan amanat konstitusi
tersebut dengan memberikan amanat penghapusan hukuman mati. Terlebih dalam
sistem hukum di Indonesia, hukuman mati bukanlah cara yang efektif untuk
menghentikan suatu tindak pidana. Sistem peradilan kita masih belum dapat
menjamin sebuah proses yang jujur (fair trial), sehingga kemungkinan terjadinya
peradilan sesat khususnya kesalahan penerapan hukum cukup besar akibat korupsi,
birokratisasi, diskriminasi dan bias kelas. Dalam konteks itu, kehadiran sanksi
hukuman mati tentu tidak dapat memperbaiki satu keputusan hakim yang salah. Di
sisi lain, tidak ada pembuktian akademis bahwa pelaksanaan hukuman mati secara
efektif memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan dan mengurangi tindak
pidana yang terjadi.
Putusan MK yang melihat
bahwa pelaksanaan hukuman mati tidak bertentangan dengan Pasal 28I ayat (1) UUD
1945 karena menganggap tata cara pelaksanaan hukuman mati berdasarkan UU
No.2/Pnps/1964 bukan merupakan tindakan penyiksaan adalah sebuah keputusan yang
terjebak positivisme hukum formal, karena hanya melihat unsur yang digugat
saja, yaitu penyiksaan. Padahal, Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 secara tegas dan
jelas mengatur mengenai hak-hak dasar warga negara sebagai satu kesatuan yang
utuh, di mana dengan tegas dinyatakan bahwa hak untuk hidup merupakan hak dasar
yang harus dijamin oleh negara.
Putusan MK ini secara
nyata telah mengabaikan perkembangan ilmu pengetahuan hukum dan peraturan
perundang-undangan di Indonesia yang telah mengalami perubahan paradigma
sebagaimana terlihat dalam RUU KUHP yang sudah menempatkan hukuman mati sebagai
pidana yang bersifat khusus dan diancamkan secara alternatif. Pidana mati dapat
dijatuhkan secara bersyarat, dengan memberikan masa percobaan, sehingga dalam
tenggang waktu masa percobaan tersebut terpidana diharapkan dapat memperbaiki
diri sehingga pidana mati tidak perlu dilaksanakan. Demikian juga dengan
Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional (Rome Statute of the International
Criminal Court, 1998) yang rencananya akan diratifikasi Pemerintah Indonesia
pada tahun 2008 ini, yang sama sekali tidak mengatur mengenai ancaman pidana
mati. Hukuman dalam mekanisme International Criminal Court juga hanya berupa
hukuman penjara yang terdiri dari hukuman penjara seumur hidup untuk kejahatan
yang sangat serius dan hukuman penjara maksimum 30 tahun.
Disamping itu, penerapan
hukuman mati bertentangan dengan ketentuan hukum hak asasi manusia
Internasional yang secara tegas menyatakan hukuman mati bertentangan dengan
prinsip-prinsip yang diatur di dalam konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan
Politik (International in Civil and Political Rigts-ICCPR.). Hak untuk hidup
(rights to life) - yaitu pada bagian III Pasal 6 (1) - menyatakan bahwa setiap
manusia berhak atas hak untuk hidup dan mendapatkan perlindungan hukum dan
tiada yang dapat mencabut hak itu. Perlu diingat bahwa prinsip-prinsip yang
diatur dalam ICCPR telah menjadi bagian dari hukum nasional Indonesia, melalui
UU No.12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik.
Putusan Mahkamah
Konstitusi ini sangatlah ironi, mengingat dasar filosofis dan konstitusi negara
Indonesia yang kemudian dikonkritkan lagi dalam Ketetapan MPR Nomor
XVII/MPR/1998 telah secara eksplisit menyebutkan bahwa pandangan dan sikap
bangsa Indonesia mengenai hak asasi manusia adalah bersumber dari ajaran agama,
nilai moral universal, dan nilai luhur budaya bangsa, serta berdasarkan
Pancasila, dimana hak asasi manusia adalah hak dasar yang melekat pada diri
manusia yang sifatnya kodrati dan universal sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa
dan berfungsi untuk menjamin kelangsungan hidup, kemerdekaan, perkembangan
manusia dan masyarakat, yang tidak boleh diabaikan, dirampas atau diganggu
gugat oleh siapa pun.
Oleh karenanya,
mempertahankan penerapan hukuman mati dalam pendekatan hukum positif semata
jelas tidak dapat dipertanggungjawabkan. Dalam kondisi demikian, perubahan
terhadap hukum nasional menuju penghapusan hukuman mati menjadi sebuah
keharusan. Terlebih lagi konstitusi negara telah melahirkan pengakuan akan hak
untuk hidup yang tidak dapat dikurangi atas alasan apapun, sehingga penghapusan
hukuman mati diseluruh ketentuan hukum adalah kewajiban konstitusional.
0 komentar:
Posting Komentar