Berdasarkan analisis historis konstitusi di Indonesia,
adanya jaminan dan kepastian akan hakekat kebebasan dan kemandirian kekuasaan
kehakiman sangat tergantung dengan penerapan dan pelaksanaan sistem politik.
Kendati konstitusi kini secara eksplisit menyatakan kebebasan kekuasaan
kehakiman, tapi penyimpangan masih begitu banyak terjadi, baik dalam konteks
dimensi substansi maupun prosedural yang tidak memungkinkan terjadinya
kebebasan dan kemandirian kekuasaan kehakiman.
Berbagai peraturan perundangan yang mengatur kekuasaan
kehakiman, masih belum memberi ruang dan atmosfir yang kondusif bagi
independensi kekuasaan kehakiman. Banyak peraturan yang tidak selaras, tidak
harmonis dan inkonsistensi dengan konstitusi maupun satu dengan lainnya.
Diantaranya ada yang mengandung berbagai kelemahan, karena mengandung multi
penafsiran dan tidak bisa dilakukan enforcement. Sementara mekanisme
berbagai peraturan perundangan yang mendistorsi ketentuan dalam konstitusi.
Intervensi atau pengaruh campur tangan dari kekuasaan
pemerintah masih begitu jelas terlihat dan terasa. Bahkan, lembaga peradilan
tersubordonasi oleh kekuasaan eksekutif dan dikooptasi oleh pihak yang
menguasai sumber daya ekonomi dan politik. Dalam rezim iu, peradilan merupakan
bagian dari kepentingan eksekutif, karena harus mnejalankan direktiva dan
mengamankan preferensi kepentingan penguasa dan kekuasaan. Sehinggga fungsi
genuinenya tidak bisa dilakukan secara optimal, malah berfungsi guna
melaksanakan, mempertahankan dan mengamankan program pembangunan dan
kepentingan pemerintah, yaitu sebagai instrumen stabilitas politik dan
pendorong pertumbuhan ekonomi.
Peradilan tidak punya kebebasan dan kemandirian untuk
mengatur hal-hal yang berkaitan dengan masalah internal institusional dan
substantif. Dalam masalah personal, primaritas juga masih menjadi persoalan,
dimana etika, moralitas serta integritas dan kapabilitasa hakim dalam kekuasaan
kehakiman belum sepenuhnya independen dan terbebaskan dari pengaruh dan
kepentingan kekuasaan. Mereka seharusnya tidak boleh mmepengaruhi dan /atau
terpengaruh atas berbagai keputusan dan akibat hukum yang dibuatnya sendiri,
baik dari segi politis maupun ekonomis.
Asumsi
Dasar Reformasi Kebebasaan Kekuasaan Kehakiman:
Tujuan utama kekuasaan kehakiman menurut konstitusi
adalah mewujudkan cita-cita kemerdekaan RI yaitu terwujudnya masyarakat
Indonesia yang adil dan makmur melalui jalur hukum. Reformasi dibidang
kekuasaan kehakiman ditujukan untuk:
Pertama : menjadikan kekuasan kehakiman sebagai
sebuah institusi yang independent;
Kedua : mengembalikan
fungsi yang hakiki dari kekuasaan kehakiman untuk mewujudkan keadilan dan
kepastian hukum;
Ketiga : menjalankan fungsi
check and balances bagi institusi kenegaraan lainnya;
Keempat : mendorong dan memfasilitasi
serta menegakkan prinsip-prinsip negara hukum yang demokratis guna mewujudkan
kedaulatan rakyat dan kelima: melindungi martabat kemanusiaan dalam
bentuk yang paling kongkrit.
Kebebasan kekuasaan Kehakiman dalam konteks mewujudkan
peradilan mandiri, tidak hanya menyatu atapkan pembinaan dan pengawasan, tapi
juga dimaksudkan untuk memandirikan Hakim dan lembaga Mahkamah Agung. Secara
organisatoris MA dan lingkungan peradilan lainnya harus dibebaskan dan
dilepaskan dari segala intervensi dan pengaruh kekuasaan negara lainnya dan
hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman tidak boleh menundukkan diri pada
visi dan kepentingan politik pemerintah. Secara politik, kekuasaan kehakiman harus
didukung oleh pemisahan yang tegas antara lembaga legislatif, eksekutif dan
yudikatif dengan mengimplementasikan ketetapan MPR yaitu TAP MPR No. X / 1998
yang menyatakan perlunya pemisahan yang tegas antara kekuasaan eksekutif dan
yudikatif, sehingga menciptakan adanya check and balances dalam sistem politik.
Jaminan kebebasan pers juga menjadi salah satu prasyarat dan bagian integral
yang tak terpisahkan bagi terwujudnya kebebasan kekuasaan kehakiman.
Indonesia
juga harus melaksanakan secara utuh dan konsekwen prinsip-prinsip universal
dari kemandirian kebebasan kekuasaan kehakiman. Karena itu harus direvisi dan
diamandemen segala peraturan perundang-undangan kebijakan dan lembaga -lemnbaga
yang bertentangan dengan jiwa dan prinsip dari kebebasan dan kemandirian
kekuasaan kehakiman.
Mahkamah
Agung Dalam Konteks Ketatanegaraan :
Kalau hendak membicarakan MA dalam konteks
ketatanegaraan, maka titik tolaknya bertumpu pada pasal 24 dan 25 UUD yang
mengemukakan sebagai berikut:
Pasal
24 :
(1) Kekuasaan
Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman
menurut Undang-Undang;
(2) Susunan
dan Kekuasaan badan-badan Kehakiman itu diatur dengan Undang-Undang.
Pasal
25 :
Syarat-
syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan
Undang-Undang.
Jika
dianalisis lebih dalam, kosakata “Kekuasaan Kehakiman” dalam konstitusi
merupakan terjemahan dari istilah Belanda yang bisa disebut ”Rechterlijke
Macht”. Kata dimaksud mengacu pada teori Montesque mengenai pemisahan
kekuasaan atau “Separation of Power“.
Maksud istilah “Kekuasaaan” dapat diartikan sebagai “Orgaan“ (Badan) atau bisa juga berarti “Functi” (Tugas).
Sedangkan penggunaan istilah “Sebuah” Mahkamah Agung,
haruslah diartikan bahwa Undang-Undang Dasar hanya menghendaki satu badan atau
lembaga Mahkamah Agung saja. Sedangkan kosakata istilah “Badan Kehakiman” dalam
arti umum disebut sebagai “Genus Begrip”.
Jadi dengan begitu “Mahkamah Agung” dimaknai dalam arti khusus yaitu sebagai “Species Begrip”. Ada pun yang dimaksud
dengan kosakata “Susunan” adalah sebagai instruktur dari organisasi badan-badan
peradilan, sedangkan istilah “Kekuasaan” dimaksudkan sebagai wewenang atau
kewenangan, dalam bahasa lain biasa disebut sebagai “Judiciary Act”.
Dalam realisanya antara kekuasaan kehakiman dengan cabang
kekuasaan lainnya, ada suatu pendapat yang menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar
menganut faham Duo Politica, karena
pemisahan kekuasaan negara hanya menyangkut dua kekuasaan saja, yaitu:
Kekuasaan Pemerintahan Negara sebagaimana diatur dalam BAB III dan Kekuasaan
kehakiman seperti diatur dalam BAB IX Undang-Undang Dasar. Melalui faham atau
ajaran Duo Politico ini telah
terjadilah pemisahan kekuasaan, sehingga dengan begitu Undang-Undang Dasar juga
menganut ajaran politik “Separation Of
Power”.
Sedangkan dalam konsteks kekuasaan pembuatan
Undang-Undang secara normatif DPR punya kewenangan untuk memberikan persetujuan
terhadap Rancangan Undang-Undang (Pasal 20 ayat 2 UUD), walaupun harus
mendapatkan pengesahan dari Presiden (Pasal 21 ayat 2 UUD). Demikan sebaliknya,
dalam kegentingan yang memaksa pemerintah bisa mengajukan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang, tapi harus mendapatkan persetujuan dari DPR (Pasal 22
ayat 1 dan ayat 2 UUD). Dalam kekuasaan pembentukan UU terjadilah distribution
of power yang cukup balance antara DPR dengan Kekuasaan Pemerintah yang
sekaligus Separation of Power dengan Kekuasaan Kehakiman.
Analisis normatif semantik dalam bidang kekuasaan
pembuatan Undang-Undang harus disertai dengan analisis historis untuk melacak
spirit yang menjadi motif pembuatan teks pasal itu. Kendati tidak cukup banyak
literatur yang mengemukakan hal ini, tapi dua hal bisa diajukan sebagai dasar,
mengapa Kekuasaan Pemerintah mempunyai hak dalam pembuatan Undang-Undang,
karena: pertama: pemerintah
dianggap paling mengetahui kebutuhan peraturan atau kebijakan yang diperlukan
untuk menjalankan pemerintahan; kedua:
pemerintah mempunyai resources yang cukup untuk mengajukan usulan rancangan
peraturan. Namun begitu DPR pun, tetap diberi kekuasaan untuk membentuk dan
memberikan persetujuan terhadap rancangan Undang-Undang.
Dalam konteks kekinian, alasan dan kebutuhan Kekuasaan
Pemerintah membuat Undang-Undang harus dipertimbangkan lagi apalagi jika
diletakkan dan dikaitkan dengan ajaran konstitusionalisme dalam konteks
pembatasan kekuasaan dan kekuasaan yang harus mengabdi dan melindungi
kepentingan rakyat. Dengan begitu, pendapat faham Duo Politico tidak sepenuhnya
benar, karena kekuasaan tetap terbagi menjadi kekuasaan eksekutif, legislatif
dan judicial sesuai dengan ajaran Trias Poltica tapi tidak murni.
Jika analisis diatas diletakkan dalam konteks ajaran
Montesque dalam Trias Poltica murni, maka kekuasaan tidak hanya berbeda, tapi
juga merupakan suatu institusi yang harus terpisah satu dan lainnya didalam
melaksanakan kewenagannya (maksudnya: satu organ, satu fungsi). Biasa juga
dikemukan sebagai “Communis Opinio
Doctrum”, di mana kekuasaan kehakiman adalah suatu yang kekuasaan yang
harus benar-benar terbebaskan dari pengaruh kekuasaan yang lainnya. Dalam Constitusional Rule biasa dikemukakan
atau disebutkan sebagai ”The Independence Of Judiary”. Dari
Undang-Unadang dasar dikemukakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan
yang terpisah.
`Kalau teori Montesque dengan ajaran atau faham
konstitusionalisme , maka hakim harus mempunyai kewenangan untuk mengkontestasi
dan membatalkan setiap peraturan, kebijakan dan tindakan presiden serta setiap
perundang-undangan yang bertentangan dan melanggar konstitusi. Apalagi Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia tidak pernah menyatakan dana membuat ketentuan yang
melarang hakim untuk menguji Undang-undang terhadap konstitusi. Dalam posisi
dan titik ini Hakim Kasasi dapat bertindak untuk atas nama serta sebagai “Interpreter
of the constitution”.
Problematik
dan Solusi Eksternal:
Pada kebanyakan negara berkembang termasuk Indonesia,
pendekatan atau setting didalam sistem politik menggunakan sistem distribution
of power yang menghendaki adanya kooperasi dan konsultasi kelembagaan diantara
badan ekskeutif dan yudikatif. Dalam kenyataannya, keadaan seperti ini, sanagat
potensial menyebabkan terjadinya “judgment of political interference”.
Untuk mengatasi problematik eksternal, maka secara politik dalam sistem politik
harus dilakukan pemisahan yang tegas antara lembaga legislatif , yudikatif dan
eksekutif dengan mengimplementasikan secara tegas ajaran Trias Politika dari
Montesque dan merealisasikan Ketetapan MPR No X / 1998 secara murni dan
konsekwen.
Pemisahan secara tegas harus dilanjutkan disertai dengan
pemberian secara otonomi kepada yudikatif, baik yang bekaitan dengan
kemandirian dalam bidang personal, internal institusional dan substantif.
Begitu pun terhadap penyelenggaraan fungsi-fungsi kekuasaan kehakiman seperti
fungsi yudicial review, supervisi, konsultatif, legislatif dan administratif
diserahkan sepenuhnya kepada dan melalui lembaga MA. Dengan begitu tidak ada
lagi ketegangan antara dua badan yang sering terjadi secara factumis area dalam bidang dan fungsi
kekuasaan kehakiman.
Peran profesioanl hakim harus ditegakkan dengan
membebaskannya dari pengaruh extra judicial serta membebaskannya dari kekuasaan
apa pun, baik kekuasaan dalam bidang eksekutif, legislatif maupun lembaga
kekuasaan negara lainnya. Kehendak yang bebas harus terwujud dan diwujudkan
dengan kongkrit. Tapi itu tidak berarti kekuasaan Kehakiman akan bebas
sebebas-bebasnya, mekanisme check and balances, check and control harus dorong
dan diciptakan untuk menghindari adanya power block.
Itu sebabnya hak prerogatif presiden
dalam pengangkatan pimpinan dan anggota MA serta hakim Agung harus dibatasi.
Presiden hanya berfungsi deklaratif yaitu menandatangani pengesahan usulan
calon Pimpinan, Anggota MA dan Hakim Agung yang sudah pasti, yang sudah diputuskan
oleh Majelis dan/atau Parlemen dalam kapasitas sebagai Presiden dan bukan
sebagai Kepala Negara karena istilah Kepala Negara tidak dikenal dalam UUD.
Problematik dan Solusi Internal
1. Sifat Independen Yudicial
Kekuasaan MA harus independen dan terpisah dari
kekuasaan negara lainnya. Independen itu meliputi kemandirian personal
(personal judicial indepence), kemandirian substansial (substantif judicial
independence) dan kemandirian internal dan kemandirian kelembagaan (institusional judicial independence).
Kemandirian substantif adalah kemandirian didalam
memerikasa dan memutusakan suatu perkara semata-mata untuk menegakkan kebenaran
dan keadilan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum.
Kemandirian institusional adalah kemandirian lembaga
kehakiman dari intervensi berbagai lembaga kenegaraan dan pemerintahan lainnya
didalam memutus suatu perkara.
Kemandirian internal adalah kemandirian yang dimiliki
oleh peradilan untuk mengatur sendiri kepentingan kepersonalian kehakiman
meliputi antara lain rekruetmen, mutasi, promosi, penggajian , masa kerja, masa
pensiun.
Kemandirian personal adalah kemandirian dari pengurus
rekan sejawat, pimpinan dan institusi kehakiman itu sendiri.
2. Fungsi Peradilan
Fungsi utama dari MA sebagai sebuah lembaga peradilan
adalah mewujudkan tujuan hakiki dari kekuasaan kehakiman yang merdeka dan
mandiri yaitu mewujudkan kedaulatan rakyat, interpreter of the constitution,
menegakkan keadilan, kebenaran dan kepastian hukum, menjalankan fungsi check
and balance guna menegakkan prinsip-prinsip negara hukum guna mewujudkan
masyarakat adil dan makmur.
Fungsi
Yudicial menyelenggarakan peradilan dengan melaksanakan dan menerapkan hukum
secara tepat dan adil.
Fungsi
Review (toetsingsrecht) adalah hak untuk menguji secara materiil berbagai
peraturan perundang-undangan dibawah konstitusi dengan mekanisme prosedural
yang tidak menyulitkan.
Fungsi
Supervisi adalah pertama: pengawasan dan pembinaan tertinggi terhadap
proses penyelenggaraan peradilan disemua tingkat dan lingkup peradilan; kedua:
pengawasan terhadap tingkah laku dan perbuatan para hakim; ketiga: meminta
keterangan mengenai teknis peradilan; keempat: mempunyai kewenangan
untuk memberikan petunjuk, tegoran dan peringatan yang diperlukan.
Fungsi
Legislasi adalah membuat berbagai peraturan dan kebijakan untuk menindaklanjuti
dan melengkapi kekurangan atau kekosongan hukum secara proaktif kepasda lembag
tinggi negara terhadap hal-hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak,
memberikan usulan dan pertimbangan hukum kepada Presiden untuk grasi, amnesti,
abolisi dan rehabilitasi.
Fungsi
Administrasi adalah mengelola hal-hal yang berkaitan dengan keorganisasian,
keuangan dan administrasi kelembagaan yaitu antara lain rekrutmen , mutasi,
promosi, penganggaran, penggajian dana masa kerja.
3.
Kedudukan MA sebagai Peradilan
Kekuasaan
Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradialn guna mewujudkan keadilan
dan menegkakan hukum demi terselenggaranya Negara Hukum.
Mahkamah
Agung adalah peradilan tertinggi dari semua lingkungan peradilan lainnya
seperti Peradilan Umum, Agama, militer dan Tata Usaha Negara maupun peradilan
lainnya.
Mahkamah
Agung adalah lembaga peradilan yang mempunyai kedudukan terlepas dan terpisah
dari pengaruh kekuasaan negara lainnya.
4.
Sistem dan Prasyarat Peradilan yang Fair dan Efisien
- peradilan terbuka untuk umum dilaksanakan oleh pengadilan yang berwenang;
- peradilan menempatkan semua orang sama dimuka hukum dan menjamin terlaksananya rule of law;
- pemeriksaan dilakukan dengan adil dan tidak memihak sesuai dengan fakta-fakta dan dengan menerapkan prinsip-prinsip hukum yang baik dan benar;
- peradilan dilakukan sederhana, cepat, biaya ringan;
- peradilan dilakukan sesuai dengan jurisdiksinya;
- segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak-pihak lain diluar kekuasaan kehakiman dilarang;
- peradilan menjamin perlindungan, penghormatan dan pelaksaan hak asasi manusia;
- peradilan harus membantu para pencari keadilan untuk mengatasi segala hambatan agar tercapai kebenaran dan keadilan serta terlaksanaya butir pertama hingga ketujuh.
5.
Administrasi Pelayanan Peradilan
Administrasi
peradilan dimaksudkan untuk memerangi kelambanan dan kongesti perkara. Ada lima
esensial pokok, yaitu pertama: harus ada :” Court structure” yang
sederhana dan integratif; kedua: peradilan tertinggi harus punya
kewenangan untuk mengatur kebijakan umum bagi semua peradilan dibawahnya, bisa
dibuat melalui judicial conference; ketiga : harus ada “flow chart”
proses penanganan perkara denagn mengemukakan tenaga waktu dalam proses
pelaksanaan; keempat : pembayaran semua cost untuk administrasi
pengadilan dibuat transparan dan dilakukan melalui bank; kelima: harus
ada public mechanism control untuk memantau prosedur penanganan perkara.
6.
Susunan Struktur MA
Susunan
MA terdiri dari Pimpinan dan Anggota, Hakim Agung yang menjalankan fungsi
judicial review, suprevisi, konsultatief dan legislasi, Sekertaris Jenderal dan
Panitera yang menjalankan fungsi administrasi. Dalam garis koordinatif ada
lembaga Majelis Kehormatan Kode Etik adan Majelis Kehormatan Non Etik.
7.
Pola Rekrutmen MA
Sistem
rekrutmen Hakim Agung harus bersifat terbuka, maksudnya selain dari hakim
karier maka dimungkinkan juga para hakim bersalah dari lingkungan para penegak
hukum lain yang terdapat dalam lingkungan criminal justice system seperti
advokat, kejaksaan dan kepolisian. Pola dan proses rekruetmen, mutasi, promosi
dan jenjang kepangkatan Hakim diserahkan kepada mekanisme internal MA.
Hakim
Agung dipilih dan diberhentikan langsung oleh DPR berdasarkan usulan-usulan
langsung dari rakyat dan lembaga profesi hukum. Pemilihan dan pengangkatan
hakim agung harus menjamin bahwa para kandidat mempunyai kemampuan,
integritasnya tinggi , kemandirian dan berpengalaman, selain profesional,
jujur, bersih dan berwibawa. Kandidat terbaiklah yang dapat menduduki jabatan.
Pimpinan
dan anggota diangkat oleh MPR secara bebas dan rahasia disahkan oleh presiden
sebagai Kepala Negara Hakim Agung diangkat oleh DPR.
Pemilihan
calon tidak boleh didasarkan atas diskrimasi berdasarkan ras, suku, agama warna
kulit, sex dan aliran politik.
Prosedur
pengangkatan harus diatur jelas dan mudah diketahui oleh publik.
Promosi
hakim haruslah dilakukan sesuai dengan merit system dengan memperhatikan
kemampuan, integritas, kemandirian dan pengalaman.
Hakim
hanya bisa diberhentikan apabila terbukti, tidak mampu melakukan tindak pidana
melakukan tindakan dan kelakuan tidak sesuai serta bertentangan dengan martabat
dan kedudukanya sebagai hakim dengan memberikan kesempatan yang cukup untuk
melakukan pembelaan diri.
8.
Pola Pendidikan Hukum bagi Hakim Dan Para Penegak Hukum Lainnya
Perilaku
suatu program pendidikan hukum terpadu bagi para penegak hukum seperti hakim,
penuntut umum dan advokat sebelum profesi yang diminatinya dalam kurun waktu
terteuntu. Dalam pendiidkan itu sleain peningkajtan pengetahuan hukum juga
perlu dikemukakan mengenai visi, peran, posisi dan komitmen moral hakim dalam
penegakan hukum dan mewujudkan supremasi hukum. Proses magang juga harus
diterapkan sebelum mereka menduduki jabatan hakim.
9.
Pusat Pendidikan Hukum
Diperlukan
pusat pendidikan untuk menigkatkan kemampuan pengetahuan hakim dan untuk
mengantisipasi berbagai perkembangan hukum dan tindak kriminal, khususnya White
Colour Crime. Perlu ada Short Cource Program untuk peningkatan dan spesialisasi
minat hakim atas suatu issu tertentu.
10.
Kode Etik Dan Non Etik Profesi
Hakim
harus mempunyai kode etik Profesi, Majelis Kehormatan Kode Etik dan Majelis
Kehormatan Non Etik Majelis Impeacment Peradilan. Dalam komposisi dio Majelis
Kehormatan Non Etik serta Majelis Impeacment harus ada wakil dari para penegak
hukum lainnya dan prominent publik figur yang mempunyai integritas dan
kapabilitas dalam bidang hukum.
Kalau
ada hakim yang melanggar kode etik, maka Majelis Kehormatan etik mengambil sikap
dan putusan, kemudian meminta Ketua MA untuk mempertimbangkan dan mengesahkan
putusannya dan DPR yang bertindak melakukan pemberhentian. Kalau Ketua dan
Anggota MA yang melakukan pelanggaran, Majelis Kehormatan Etik memeriksanya
kemudian mengambil sikap dan putusan, kemudian meminta lembaga Impeachment
untuk mempertimbangkan dan mengesahkannya MPRlah yang akan bertindak melakukan
pemberhentian.
Tindakan
hakim yang tidak menyangkut soal etik namun berkaitan dengan kemampuan hakim,
penjatuhan sanksi pidana serta tindakan/kelakuan yang bertentangan dengan
martabat dan kedudukannya sebagai hakim diperiksa sebagai oleh Majelis
Kehormatan Hakim Non Etik. Majelis akan memeriksa, mengambil sikap dan putusan.
Ketua MA akan mengesahkannya dan DPR yang bertindak melakukan pemberhentian.
Kalau Ketua dan Anggota MA yang melakukan pelanggaran itu, maka Majelis
Kehormatan akan memeriksanya, kremudian mengambil sikap dan putusan, kemudian
meminta lembaga Impeachment untuk mempertimbangkan dan mengesahkannya, MPRlah
yang akan bertindak melakukan pemberhentian.
11.
Prosedur Pemeriksaan dan Penerapan Sanksi
Perlu
dibuat Lembaga Pengaduan dari masyarakat terhadap fungsi Judicial dan perilaku
hakim yang melanggar dan bertentangan martabatnya sebagai hakim.
Perlu
dibuat struktur, prosedur dan mekanisme bagi lembaga Majelis Kehormatan Kode
Etik dan Non Etik serta Lembaga Impeachment Peradilan. Begitupun pola
pemeriksaan dan penerapan sanksinya.
12.
Eksaminasi dan Publikasi putusan MA
Diperlukan
suatu mekanisme yang mengatur program eksaminasi, yaitu penilaian para hakim
oleh atasannya dan atau tim yang ditunjuk khusus itu atas keputusan-keputusan
hakim (apalagi perkara yang mendapat atensi publik) yang dibuat oleh para hakim
dalam kurun waktu tertentu.
Eksaminasi
dibuat secara transparan dan sedapat mungkin membuka ruang partisipasi dari
aparat penegak hukum lainnya. Program ini juga untuk menilai kemampuan dan
prestasi seorang hakim untuk keperluan promosi dan peningkatan jenjang
kepangkatan, selain untuk melacak, apakah terjadi praktek kolusi dan manipulasi
putusan dalam suatu perkara.
13.
Contempt of Court
Untuk
menjamin penyelenggaraan peradilan yang baik agar mampu mewujudkan keadilan dan
menegakan hukum, diperlukan peraturan perundangan yang mengatur mengenai penindakan
terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan ucapan yang dapat merendahkan dan
merongrong kewibawaan dan martabat serta kehormatan peradilan.
14.
Perencanaan Kebijakan dan Harmonisasinya
Perlu
dihapuskan berbagai badan yang bertentangan dengan prinsip kebebasan kekuasaan
kehakiman dan supremasi MA, seperti MAHKEJAPOL, MAHDEP, Badan Sengketa
Peradilan Pajak.
Perlu
dihapuskan dan diharmonisasikan berbagai perundangan dan kebijakan yang
bertentangan prinsip dan sifat kebebasan kekuasaan kehakiman, baik yang
bersifat materiil dan prosedural.
15.
Judicial Condition (Fasilitas dan Infrastruktur Aparat Penegak Hukum)
Hakim
harusah diberi jaminan untuk mendapat penghasilan yang tinggi, diberikan
persyaratan dan jaminan kerja, bahkan harus diberikan prioritas pembiayaan
untuk menegakan rule of law dan perlindungan terhadap hak azasi.
Eksekutif
dan keamanan harus memberikan jaminan perlindungan dan keamanan yang maksimal
bagi hakim dan keluarganya.
Fasilitas
dan penghasilan hakim tidak bisa dipakai untuk menekan dan mengancam hakim
dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya. Hakim harus mendapatkan jaminan
kekebalan dari gugatan perdata untuk kerugian dan putusan pidana, karena
tindakan yang kurang benar atau kelalaiannya dalam melaksanakan tugas peradilan.
16.
Standarisasi dan Modernisasi Perpustakaan
Lembaga
ini lebih dimaksudkan untuk menyediakan berbagai sarana informasi yang
memungkinkan hakim bisa membuat keputusan sesuai prinsip hukum yang baik dan
benar sehingga akan mendorong tercapainya salah satu fungsi peradilan, yaitu
sebagai benteng terakhir bagi pencari keadilan untuk menegakan keadilan dan
kebenaran.
17.
Forum Pemantau Kekayaan Hakim
Forum
ini lebih dimaksudkan sebagai instrumen untuk memantau hakim agar mereka
menggunakan kewenangannya sesuai kewajiban hukum yang seharusnya dilakukan
bukan karena imbalan ekonomis atau politis tertentu. Dengan begitu akan ada
atmosfir yang kondusif untuk menjaga integritas, komitmen, dan nurani hakim
untuk bersikap dan bertindak sesuai martabat dan kedudukannya.
18.
Judicial Watch
Komisi
ini dimaksudkan untuk mendorong partisipasi dan apresiasi masyarakat untuk
terlibat dalam proses penerapan hakim melalui pemantauan yang intensif atas
berbagai proses persidangan yang mendapatkan atensi publik yang besar. Dalam
proses ini perlu diintroduksi suatu lembaga observer yang secara formal dan
informal memantau proses persidangan juga perlu dibentuk suatu kelompok atau
komisi Anotasi yang membuat komentar dan analisis persidangan dan keputusan
peradilan tanpa harus mengintervensi proses yudicial. Forum ini dimaksudkan
juga sebagai bagian dari kontrol sosial rakyat terhadap proses persidangan
untuk mewujudkan keadilan dan kebenaran.
Daftar
Pustaka :
- Tim BPHN, Laporan Tim Perumusan Harmonisasi Hukum Tentang Kekuasaan Kehakiman.
- Indriyanto Seno Adji, Menuju Peradilan yang Independen: Suatu Tela’ah Problematik.
- IKAHI, Memorandum Ikatan Hakim Indonesia.
- Makalah, Posisi Mahkamah Agung Dalam Ketatanegaraan: Sekarang dan Seharusnya;
- Studi Bappenas, Studi Diagnotis Prekembangan Hukum di Indonesia;
- Mahkamah Agung, Usul Perubahan Beberapa pasal Undang-Undang No 14 Tahun 1970;
- Benny K. Harman, Konfigurasi Politik dan Kekuasaan di Indonesia;
- Menyingkap Kabut Peradilan Kita; Menyoal Kolusi di Mahkamah Agung;
- Wirjono Prodjodikoro, Asas- asas Ilmu Negara dan Politik;
- Soehino, Hukum Tata Negara, Sistem Pemerintahan Negara;
- Preamble To Statement Of Principles Of The Independence of The Judiciari;
- Universal Declaration of Human Rights;
- International Convenant on Civil and Political Rights;
- Berbagai Media Masa, Antara Lain Melalui : Pusat Informasi Kompas
0 komentar:
Posting Komentar