Masyarakat miskin di tengah Ibu Kota |
Hasil Diskusi PMKRI Cabang Jakarta Pusat
Sebagai Ibu Kota negara, Jakarta adalah etalase utama demokratisasi di
Indonesia. Daya dorong pluralisme merupakan modal politik yang tidak dapat
diabaikan. Fakta antropologis menunjukkan Jakarta adalah tanah Betawi, suku
asli dan hasil kawin campur berbagai etnis, yang kemudian membentuk karakter
tersendiri. Kini, Jakarta menjadi rumah bagi kemajemukan suku di Indonesia.
Setidaknya tiga suku terbesar di Jakarta, yakni Jawa (35 persen), Betawi (27
persen), dan Sunda (21 persen), sementara lainnya (17 persen).
Silang budaya selama berabad-abad tak membiarkan satu kebudayaan besar
mendominasi Ibu Kota. Di ranah politik, publik cair mengartikulasikan pilihan
dan sikap politiknya.
Persoalan ketimpangan di Ibu Kota juga terlihat dari angka rasio gini dalam lima tahun terakhir. Membesarnya koefisien rasio gini menunjukkan distribusi pendapatan makin melebar dalam hal kesenjangan antara kaya dan miskin kota. Tahun 2008, angka rasio gini DKI Jakarta masih 0,33 di bawah angka nasional 0,35. Namun, tahun 2012, rasio gini DKI Jakarta menjadi 0,42, sementara angka nasional 0,41. Selain itu, tingkat pengangguran 9,02 persen dan kemiskinan 3,72 persen masih menjadi problem.
Persoalan ketimpangan di Ibu Kota juga terlihat dari angka rasio gini dalam lima tahun terakhir. Membesarnya koefisien rasio gini menunjukkan distribusi pendapatan makin melebar dalam hal kesenjangan antara kaya dan miskin kota. Tahun 2008, angka rasio gini DKI Jakarta masih 0,33 di bawah angka nasional 0,35. Namun, tahun 2012, rasio gini DKI Jakarta menjadi 0,42, sementara angka nasional 0,41. Selain itu, tingkat pengangguran 9,02 persen dan kemiskinan 3,72 persen masih menjadi problem.
Sebagai ibu kota Negara, Jakarta memiliki berbagai masalah bersekala luar
biasa. Hal ini mendorong PMKRI Cabang Jakarta Pusat untuk mencoba menyoroti
berbagai permasalahan yang mendesak seperti : Kemacetan yang massif,
pembangunan infrastruktur yang merajalela, penumpukkan sampah, berbelitnya
perizinan dan rendahnya kualitas layanan public menjadi menu sehari-hari yang
harus ditangani pemimpin Jakarta. Kepuasan public terhadap kinerja Gubernur
Basuki Thaja Purnama dan wakil Gubernur Djarot Saiful Hidayat satu tahun
terakhir antara lain dilakukan survey oleh Litbang Kompas, Cyrus Network dan
Saiful Mujani Research & Consulting dengan metode melalui telepon dan tatap
muka.
Dalam Diskusi Mingguan yang digelar oleh DPC PMKRI Cabang Jakarta Pusat
dengan tema “Partisipasi Publik Dalam Pembangunan Kota” pada Sabtu 21 Nopember
2015 di Sekretariat PMKRI Cabang Jakarta Pusat hadir 2 Narasumber yakni
Presidium Gerakan Kemasyarakatan (Anthony Andgor Walona) mewakili DPC PMKRI
Cabang Jakarta Pusat dan Bang Jim Lomen H.J.S perwakilan dari Alumni yang juga
Ahli Transportasi.
Dengan mengutip Kompas, Senin, 16 November 2015 Presidium Gerakan
Kemasyarakatan DPC PMKRI Cabang Jakarta Pusat dalam dikusi tersebut menuturkan
“pembangunan kota tak hanya sebatas fisik, tetapi juga sosial. Peran manusia
menjadi kunci dalam pembangunan. Ironisnya, pembangunan yang memanusiakan
manusia menjadi barang langkah termasuk di Jakarta dan kawasan sekitarnya,
seperti Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Orang miskin digusur dan tak diberi
kesempatan bersuara, kaum marjinal merasa terasing, dan kaum minoritas tak
diberi ruang. Pembangunan di Jakarta belum menampung kepentingan masyarakat
miskin. Akibatnya, keadilan tata ruang tak terwujud. Hanya 0,33% dari seluruh
luas kota yang dihuni warga miskin. Sisanya pembangunan mal-mal besar,
perkantoran dan permukiman elit.
Anthony Andgor Walona juga menambahkan, “dalam kasus penggusuran Kampung
Pulo, misalnya, kesewenang-wenangan Pemerintah Provinsi masih terasa kental.
Relokasi/memindah masyarakat dengan cara keras dan tak kenal kompromi telah
menegaskan bahwa kota bukan tempat ramah bagi mereka yang tak memiliki hak atas
tanah. Pemerintah memilih cara represif dengan menurunkan personel kepolisian
dan Satuan pamong praja dalam menghadapi aksi kekerasan dan protes masyarakat
kampong pulo dalam memuluskan penggusuran tersebut. Warga digusur dengan dalih
penataan kota. Di sisi lain, pembangunan apartemen dan mal yang menggerus ruang
public berlangsung massif dan tak karuan.”
Sementara Bang Jim Lomen Sihombing yang merupakan alumnus Trisakti dalam
bidang transportasi mengatakan bahwa: “Jakarta memiliki kekhususan dalam hal
administrasi kota dibandingkan dengan kota-kota lain di Indonesia. DKI Jakarta
memiliki 5 kota administrasi yang di mana masing-masing pimpinan/wali kota
ditentukan langsung oleh Gubernur selaku Pemerintah Provinsi. Publikpun sangat
mudah memahami kebijakan pemerintah karena Gubernur dapat langsung turun dan
berinteraksi dengan masyarakat kota terlebih berkaitan dengan kebijakan
pembangunan.”
Beliau menambahkan, “menata kota berarti memanusiakan manusia untuk menjadi
manusia. Faktanya, Jakarta bukan hanya merupakan Ibu Kota Negara, melainkan
menjadi Pusat Pemerintahan, pusat perindustrian, pusat perdagangan, pusat perekonomian
dan bahkan pusat perkumuhan. Namun, dari pembangunan kota yang dilakukan Ahok
selama ini tidak ada pemikiran original dari pemikiran-pemikiran pemimpin
Jakarta sebelumnya, sehingga tidak ada perubahan yang betul-betul signifikan.
Bagaimana mungkin membangun hunian untuk kaum miskin kota di pinggiran ibu kota
sementara aktivitas masyarakat lebih banyak di tengah kota yang berdampak pada
kemacetan dan pendapatannya tidak dapat ditabung.”
Ketua Presidium Cabang Jakarta Pusat pun mengkeritisi soal sulitnya
mendaptkan ijin bangunan rumah ibadah padahal sudah diatur dalam Surat
Kesepakatan Bersama (SKB) Menteri yang berbeda penerapannya dengan PERDA yang
diterapkan di Aceh. Hal ini dipandang membatasi kebebasan beragama bagi warga
Negara.
Diskusi yang dihadiri oleh anggota biasa dan anggota penyatu tersebut
berjalan alot. Arvin, salah satu Anggota biasa menilai bahwa: Pembangunan
Jakarta dan kota penyangga masih cenderung ekskluif dan berpihak pada pemodal
besar (PENGUSAHA) atau Kapitalis. Tidak
diragukan lagi jika ada keterlibatan mafia pembangunan dalam setiap pembangunan
yang menggerus ruang public. Perencanaan dalam pembangunanpun tidak matang.
Pemerintah lebih mementingkan pembangunan untuk menambah devisa ketimbang
pembangunan untuk mensejahterakan masyarakat.
Heribert Keanolpun yang hadir dalam diskusi tersebut menimpali bahwa
pembangunan kota yang terjadi selama ini kurang melibatkan masyarakat sehingga hasilnya
tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Melihat pembangunan yang sudah dilaksanakan oleh Pemprov DKI Jakarta
terlebih khusu dalam satu tahun kepemimpinan
Basuki, Adrian yang ikut dalam diskusi yang semakin memanas
mengungkapkan bahwa “birokrasi seharusnya memfasilitasi kebutuhan masyarakat.
Kaum miskin kota merupakan korban dari pembangunan yang tidak merata. Tak heran
jika kesenjangan sosial dan ekonomi semakin tinggi. Yang kaya semakin kaya,
yang miskin semakin miskin.”
Direktur Program Studi Pembangunan University of the South Pacific di Fiji
Profesor Vijay Naidu berpendapat, salah satu cara membangun kota yang
memanusiakan manusia adalah dengan mengoptimalkan partisipasi warga yang
menjadi komponen terpenting dalam pembangunan. Kawasan kumuh masih merajalela,
macet menjadi rutinitas, dan banjir tak terhindarkan.
Pembangunan Kota memang harus ada yang dikorbankan. Di sinilah Pemimpin
perlu memfasilitasi partisipasi public dalam pembangunan kota tersebut baik
dalam tahap inisiasi (perencanaan) legitimasi (penentuan kebijakan) dan
eksekusi (pelaksanaan). Peran pemimpin di sini harus mampu menjelaskan
kebijakan baik secara tertulis maupun secara lisan. Pemimpin sebagai perumus
keputusan seharusnya memainkan peranan besar untuk mendorong warga beralih moda
menggunakan angkutan massal dan membuang sampah tidak sembarangan misalnya.
Tanpa ada kemauan politik dan berkemanusiaan, pembangunan kota akan seterusnya
berjalan timpang dan eksklusif.( Kompas, Senin, 16 November 2015)
- Pemerintah sudah saatnya untuk harus melibatkan warga miskin dan menengah dalam setiap perencanaan dan pembangunan kota. Hal ini karena masyarakat bukanlah objek dari sebuah pembangunan melainkan subjek dari pembangunan itu sendiri. Pembangunan kota yang baik seharusnya mengedepankan kepentingan semua manusia yang tinggal di dalam kota, termasuk pembangunan ruang public, dan perumahan rakyat.
- Pemprov DKI diminta untuk membersihkan mafia pembangunan yang kerap memonopoli ruang public dalam membangun permukiman elit, mal-mal besar dan industri swasta.
- Perlu adanya sesi khusus dalam mengkaji dan mendiskusikan mafia pembangunan yang mengakibatkan ketidakadilan sosial dan lingkungan.
0 komentar:
Posting Komentar