BERPOLITIK ITU MENYUCIKAN DAN MEMBEBASKAN?





Hidup manusia ditentukan oleh realitas politik. Aneka persoalan kemunduran sosial seringkali ditandai dengan kebangkrutan politik dalam hidup bersama. Soal-soal yang menyangkut kebebasan beragama dan kebebasan berkembang dalam budayanya juga menjadi perkara yang dominan pada periode sekarang ini. Kemiskinan merajalela dan memakan jutaan korban rakyat kecil. Ketidakadilan, penindasan, penghisapan, penggarapan, penyingkiran umat manusia dari peran social menjadi berita yang tidak asing lagi dari berbagai media di tengah era globalisasi dan free trade ini.

Ketika terpilih sebagai Paus yang ke-266, Kardinal Jorge Mario Bergoglio SJ mengukir sejarah besar Gereja Katolik. Untuk pertama kalinya sepanjang sejarah, tampuk kepemimpinan tertinggi Gereja Katolik diampu oleh seorang Jesuit. Ia juga dinobatkan sebagai Paus pertama dari Amerika Latin. Kardinal Jorge Mario Bergoglio beberapa saat pengangkatannya menjadi Paus Fransiskus mengungkapkan "Kita harus berani menghindarkan diri dari penyakit rohani Gereja yang berwatak acuh diri (hanya mereferensi dan merasa cukup dengan dirinya sendiri). Memang benar bahwa ketika kita keluar ke jalanan, kita bisa mengalami kecelakaan. Namun jika Gereja tetap menutup diri, mengacu pada dirinya sendiri, hal itu akan membuatnya semakin menua. Antara Gereja yang mengalami kecelakaan di jalanan dan Gereja yang menderita karena watak acuh diri, saya pasti memilih yang pertama" seperti dikutip National Chatolic Reporter. Seperti itulah sikapnya terhadap realitas yang sudah seharusnya menjadi kancah dialog yang saling memperkaya, mendorong untuk memberikan diri dalam kesaksian akan Cinta Kasih, dan merealisasikan solidaritas kemanusiaan pada opsi perjuangan bagi kaum papa.

Sekita tahun 1999-2002, Argentina dilanda krisis ekonomi. Jutaan warganya jatuh miskin. Puncak krisis itu terjadi pada 2001-2002, ketika Jorge menjadi Kardinal. Sebagai Kardinal yang baru, Jorge menghadapi kondisi negaranya yang carut marut. Kardinal Jorge tampil sebagai Pemimpin Gereja yang berani bersuara. Dalam homilinya, ia melancarkan serangkaian keritik tajam kepada para politisi korup penyebab krisis ekonomi negara itu. Di sisi lain, ia menyerukan amanat profetis untuk saling bekerja sama guna membantu rakyat yang semakin terkena dampak krisis. Selain itu, Jorge juga membangun jejaring dan merangkul banyak politisi, tokoh-tokoh masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan masyarakat luas pada umumnya, untuk mereduksi ekses krisis ekeonomi yang sedang berkecamuk.

Ia menunjukkan bahwa di luar Katedral tempat mereka sedang sedang berada, kemiskinan merajalela dan memakan jutaan korban rakyat kecil. “Janganlah sekali-kali kita mentolerir tontonan menyedihkan di luar gerbang Katedral ini. Lihatlah, mereka tidak tahu lagi bagaimana caranya harus berbohong untuk kepentingan pribadi, memuaskan kerakusan dan ketamakan mereka akan kekayaan yang sudah parah,” tegas Kardinal Jorge seperti dilansir Chatolic Herald pasca ia terpilih menjadi Paus.

Dalam salah satu kerusuhan di Buenos Aires, terjadi baku hantam antara polisi dan demonstran. Keadaan begitu kacau balau. Dari kantor Katedralnya, Jorge melihat beberapa polisi sedang memukuli seorang perempuan yang berada di antara kerumunan para demonstran. Tanpa basa-basi, ia segera menelpon Menteri Dalam Negeri Argentina untuk memberikan masukan dan memprotes tindakan polisi dalam aksi unjuk rasa itu. Jorge meminta supaya pemerintah dan pihak aparat keamanan dapat membedakan pengunjuk rasa yang berdemonstrasi secara damai dengan para provokator penyebab kerusuhan. Perannya jelas, yakni sebagai singa yang mengaum-ngaum, menggaungkan seruan profetis untuk berpolitik secara bersih sesuai moralitas, yang menempatkan nilai-nilai kemanusiaan sebagai landasannya. Banyak orang menilai ketika duduk di jajaran petinggi Gereja Katolik, Jorge seorang politisi yang memegang ajaran Gereja sebagai rambu dalam bertindak.

Cinta Kasih yang menjadi perintah utama dan syarat utama sebagai murid Tuhan (Yoh. 13:35), harus diterapkan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. perwujudan cinta kasih itu bukan sekedar menyapa orang lain, memberi senyum, dan membantu dengan mengulurkan tangan. Warta keselamatan Kristus melalui kehadiran Gereja menuntut terjadinya perubahan nyata tatanan masyarakat sesuai dengan yang dikehendaki Kristus. Perintah kasih harus diwujudkan dalam konteks membuat masyarakat, bangsa, dan negara ini menjadi tempat yang sesuai dengan kehendak Allah. Maka, membangun keadilan sosial, menebarkan perdamaian, mengutamakan kepentingan mereka yang paling membutuhkan, menghormati martabat manusia merupakan bentuk nyata dari Aplikasi Perintah Kasih.

Konsili Vatikan II merupakan tonggak pembaharuan hidup Gereja Katolik secara menyeluruh. GS (Gaudium et Spes) memberikan keprihatinan secara luas pada tema hubungan Gereja dan dunia modern. Ada kesadaran kokoh dalam Gereja untuk berubah seiring dengan perubahan kehidupan manusia modern. Soal-soal yang disentuh oleh GS berkisar tentang soal-soal kemajuan manusia di zaman modern, soal jurang yang tetap lebar antara si kaya dan si miskin (kesenjangan ekonomi).

Suatu "perubahan eksternal" dari kebijakan hidup Gereja yang termuat dalam GS antara lain: Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan manusia-manusia zaman ini, terutama kaum miskin dan menderita, adalah kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga. penjelasan tentang perubahan-perubahan tata hidup zaman ini; martabat pribadi manusia; ateisme sistematis dan ateisme praktis; aktivitas hidup manusia; hubungan timbal balik antara Gereja dan dunia; beberapa masalah mendesak, kebudayaan dan iman; pendidikan Kristiani; kehidupan sosial ekonomi,; harta benda diperuntukkan bagi semua orang; perdamaian dan persekutuan bangsa-bangsa; pencegahan perang; kerja sama internasional.

Gereja Katolik dalam diri kaum awamnya dipanggil dan diutus terlibat aktif dalam kegiatan kemasyarakatan dan politik. Tugas tersebut sebagai panggilan dan perutusan iman. Panggilan dan perutusan yang paling relevan untuk saat ini adalah mendorong pembangunan politik dan tata dunia yang baik, beradab dan bermoral. Menjadikan politik yang melayani masyarakat dengan hati, kejujuran dan tanpa pamrih. Bidang sosial politik dapat menjadi tempat merasul bagi kaum awam yakni membangun tatanan dan kiprah politik yang bermoral demi terwujudnya kebaikan bersama.

Dalam bukunya yang berjudul: Sakramen Politik: Mempertanggungjawabkan Memoria Terbitan I. Maret 2008, Romo Edy Kristiyanto OFM mengungkapkan, "Memang dengan sengaja, saya memilih istilah "Sakramen Politik". Pilihan ini tidak dimaksudkan untuk menyepelekan ketetapan Konsili Trento, melainkan untuk menggarisbawahi pengalaman, praksis yang diinspirasikan oleh ungkapan mysterion". Pada prinsipnya, politik merupakan seni memanage (the art of managing), seni mengurus atau merawat negara dan pemerintahan dalam kaitannya dengan tanggungjawab untuk melayani rakyat. Di sini politik menyiratkan kebijakan terorganisasi yang diperlukan untuk mencapai tujuan hidup bersama, yakni bonum commune (kebaikan bersama) yang adil dan merata.

Ini semua menunjukkan politik mestinya dijunjung tinggi sedemikian rupa sehingga menampakkan apa yang mau dicapai dengannya,  juga jelas bagi siapa diperuntukkannya, sekaligus tampak tolok ukur untuk menilai capaian politik. Begitu pentingnya fungsi dan peran politik dalam hidup berkomunitas, sampai-sampai siapa pun yang  menghendaki keselamatan maka berpolitik merupakan keniscayaan. Meminjam istilah dalam perspektif teologi: politik adalah tanda dan sarana penyelamatan!

“Umat jangan alergi untuk terjun ke dunia politik. Politik itu sebenarnya untuk kesejahteraan umum. Memang politik sering dianggap kotor. Namun bukankah Yesus turun ke dunia yang kotor untuk membawa kesucian? Bukankah panggilan kita adalah kesucian? itulah ajakan Romo Eddy Kristiyanto OFM dalam surat gembala pada Minggu Paskah Ke-II  12 April 2015. Ajakan ini mendorong semua orang yang memiliki minat terhadap politik untuk mempersiapkan diri bagi “panggilan sebagai politikus”, yang “berat namun mulia ini. Sekaligus diingatkan, agar orang yang menjalankan panggilan ini adalah orang-orang yang memiliki integritas moral dan kebijaksanaan, orang-orang yang karena itu berani “menentang setiap bentuk ketidakadilan dan penindasan, melawan kesewenang-wenangan dan intoleransi terhadap orang atau kelompok lain”. Seorang politikus yang baik adalah “seorang yang adil dan jujur, yang membaktikan dirinya demi kepentingan seluruh masyarakat”. (Gaudium et Spes/GS 75)

Dalam konteks dewasa ini, panggilan untuk berpolitik berarti panggilan untuk menjadi pejuang demokrasi. Setelah melewati pergumulan yang panjang, Gereja Katolik sampai pada sikap yang secara positif menerima demokrasi sebagai system politik yang perlu didukung. Ini ditegaskan di dalam Konsili Vatikan II (1962-1965). Gereja memang mendorong perjuangan ke arah demokrasi, namun serentak mengingatkan bahwa penerapan system ini mesti disesuaikan dengan kondisi berbeda masing-masing wilayah. Karena sadar bahwa kesejahteraan hanya dapat diusahakan secara bersama-sama, maka Gereja mendorong semua orang yang berkehendak baik untuk melibatkan diri dalam mengupayakan kesejahteraan tersebut. Partisipasi ini adalah wujud dari demokrasi (GS 31 dan 75)

Kaum awam beriman Kristen dan yang tidak terbilang dalam hierarki Gereja mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk berpolitik praktis, walaupun tanpa mengatasnamakan       Gereja. Keterlibatan awam dalam dunia politik merupakan pemenuhan panggilan untuk peduli pada persoalan dan cita-cita hidup bermasyarakat dan berbangsa. Bagi orang Kristen, terlibat dalam dunia politik itu merupakan rahmat istimewa, mengingat misteri ‘inkarnasi' sendiri langsung berkaitan dengan hal tersebut. Bukankah suatu pencerahan bagi kegelapan dunia ini ketika Allah menjadi manusia, Ia rela menjadi salah seorang anggota masyarakat warga? Kekotoran dan kehirukpikukan dunia ini tidak menjadikan-Nya miris dan apatis, tetapi justru sebaliknya. Maka secara teologis keterlibatan para anggota Gereja dalam dunia politik mendapat dasar kokoh kuat pada misteri inkarnasi (bdk. Yoh 1: 14).

Kita tidak cukup hanya berdoa dengan khusuk dan mata tertutup, sementara korupsi, kekerasan, perusakkan lingkungan, penggusuran, diskriminasi, pembodohan sistemik dan pemiskinan terstruktural terus berlangsung di sekitar kita.  Kebaktian tidak cukup hanya dirayakan dalam rumah ibadat, tetapi sungguh dirayakan dalam seluruh hidup dan kegiatan manusia dengan mengabdikan diri untuk menghadapi ketidakadilan, penindasan, penghisapan, penggarapan, penyingkiran umat manusia dari peran sosial. Berjuang dengan terlibat dan berpihak pada kaum tertindas. Bung Karno dalam banyak pidatonya, setelah Indonesia merdeka, masih terus mendengung-dengungkan "l'explotation d'homme par homme, l'explotation d'nation par nation. Dia mengingatkan bahwa selama masih ada penghisapan manusia atas manusia, penghisapan bangsa atas bangsa, maka seluruh manusia di bumi ini belum terbebaskan dari cengkraman penjajahan".

            Pada zaman ini banyak penguasa baik dari kalangan pemerintahan maupun lembaga masyarakat memiliki reputasi negatif, karena salah menggunakan otoritas dimilikinya. Karena itu, lembaga-lembaga masyarakat, termasuk lembaga keagamaan, menjadi kekuatan tersendiri untuk mempengaruhi terciptanya etika politik dan dan keluarnya kebijaksanaan publik yang menyejahterakan semua. Oleh karena itu, peran dan keterlibatan aktif dalam politik etis orang Kristen menjadi menjadi bagian dari tuntutan tugas panggilan dan perutusan untuk:
·        Menjadi garam dan terang dunia; orang Kristen harus melibatkan secara aktif dalam politik untuk memampukan pemerintah, berjuang terus menerus untuk menciptakan kesejahteraan bersama.
·        Menjadi agen perubahan yang berpegang pada kebenaran; Orang Kristen, harus berani mengatakan tidak atas semua tawaran, bujukan atau strategi yang memasukkan diri dalam Korupsi, Kolusi Nepotisme dan terus-menerus berjuang menegakkan hukum secara konsisten dan konsekuen.
·        Menjadi pelopor yang tahu hak dan mau melakukan kewajiban; Orang Kristen dipanggil untuk menyatakan kehendak Allah dan memulikan nama-Nya dalam segala bidang kehidupan, termasuk bidang politik. Karena itu, setiap Orang Kristen mempunyai kewajiban dan tanggung jawab yang lebih berat dari pada orang lain dalam perkara politik. Yang terutama adalah melakukan semuanya demi kemuliaan nama Allah.

Selama ini, orang-orang beragama menjauhkan diri dari politik (kekuasaan). Sikap yang demikian ini berdampak pada ketidakpedulian pada apa yang tengah terjadi dalam dunia yang sedang berlalu ini. Sejujurnya, para hierarki pun terlibat dalam politik. Akan tetapi istilah ‘politik' ini perlu dipahami bukan dalam artian sempit (stricto sensu), melainkan dalam arti luas (largo sensu), yakni arti utama dan sesungguhnya dari politik. Dalam konteks ini perlu disinggung kenyataan bahwa ada perbedaan yang sangat jelas antara teori (ajaran) dan praksis. Hierarki memang tidak berpolitik praktis, dan tetap memegang teguh ketetapan dan ajaran Gereja tentang politik, namun sikap, ajaran, dan karya para hierarki Gereja sudah sangat sering berdampak pada politik praktis.

Penderitaan kita sebagai umat Kristiani tidak bisa dipisahkan dengan status kita sebagai warga negara/masyarakat. Gereja tidak cukup hanya tinggal diam atau berkemah di menara gading. Gereja harus berpartisipasi dalam kehidupan politik untuk membebaskan orang miskin dan tertindas. “Umat Katolik tidak boleh pasif. Tantangan perkembangan dan kemajuan demikian besar, umat Katolik diminta memiliki kesadaran-kesadaran tanggung jawab dan partisipasi untuk memajukan kehidupan bersama dalam soal-soal politik. Politik bukanlah lapangan kotor, melainkan lapangan kehidupan yang harus di tata dengan baik.” Seperti dikutip dari Dokumen yang dikeluarkan oleh Kongregasi Suci untuk Ajaran Iman(bdk. The Participation of Chatolic in Political life).

Kristus yang bangkit mengutus Roh-nya mengurapi para rasul dan jemaat-Nya untuk melanjutkan karya keselamatan dan pembebasan. Gereja adalah berdosa (menyalahi kodrat) kalau menjadi ELIT (enclave), melainkan harus menjadi bagian dari korban (kaum tertindas). Dan kita menjadi umat terpilih artinya menjadi paradigma alternatif menghadapi raksasa/struktur yang menindas.

Contohnya kalau seorang Paus Yohanes Paulus II (almarhum) mengadakan kunjungan yang semata-mata ‘murni' pastoral ke suatu negara yang totaliter dan korup, maka kedatangan pemimpin yang keagamaan yang kharismatis itu berpengaruh pada pelbagai kebijakan politis. Kunjungan itu dapat dipolitisasi sebagai bentuk afirmasi terhadap sistem kekuasaan yang berlaku di wilayah itu. Akan tetapi juga tidak kurang interpretasi yang menyatakan, bahwa visitasi pastoral itu memotivasi terjadinya pelbagai perubahan ke arah yang lebih baik, penataan kembali sejumlah kebijakan yang macet, dan kepeduliaan yang signifikan dari pihak pemerintah terhadap golongan dan kaum pinggiran dan yang dipinggirkan

Memoria kita akan sejarah perpolitikan dekade-dekade terakhir di negeri ini mempertegas kenyataan tersebut. Justru lembaga yang mengaku berurusan langsung dengan moralitas, religiositas termasuk yang paling korup. Tampak ironis sekali, negeri yang paling banyak penduduknya mengaku diri sebagai beragama, malah carut marut dalam urusan keadilan, kekerasan dan penghormatan terhadap hidup, serta respek pada sesama masyarakat warga. Sampai pada taraf ini, fungsi sosial agama terutama sebagai ‘filter' sudah tidak ada gunanya.

Gereja Katolik Indonesia yakin bahwa kita di utus oleh Tuhan menjadi peziarah hidup bersama seluruh bangsa Indonesia. Dalam semangat komunio dan panggilan umat beriman kristiani awam kita hendak membarui arah dasar peran dan tanggung jawab kita membangun tata dunia (Indonesia) menjadi lebih baik dan sejahtera. Panggilan kaum beriman kristiani awam di Indonesia adalah pelaksanaan tugas Gereja semesta yakni mewartakan Injil, kabar gembira, kepada semua orang secara khusus dalam tata dunia politik. Setaip orang Katolik dipanggil Tuhan baik sebagai perorangan maupun dalam kelompok atau paroki di keuskupan serta mengamalkan imannya sesuai dengan kharisma anugerah ilahi yang diterimanya dalam kesatuan dengan Gereja lokal dan universal.

Berpolitik berarti melayani masyarakat bukan dengan kekuasaan melainkan dengan hati, kejujuran dan tanpa pamrih (bdk. Luk. 9:33-37). Berpolitik yang bermoral Kristiani berarti tidak melakukan korupsi, tidak berbohong, tidak memakai kekuasaan dengan cara melakukan intimidasi dan kekerasan serta mengorbankan kepentingan dan kesejahteraan umum. Politik harus dilaksanakan dengan asas kemanusiaan yang adil dan beradab (bdk. GS.76).
Dewasa ini, Gereja harus“Option for the poor”  dan menawarkan pembebasan kepada mereka. Ini berada dalam dialektik besar antara teori (iman) dan praktek (cinta kasih). Hanya iman yang bekerja oleh kasih. Sehingga cinta kasih dapat mewujudkan pembebasan bagi mereka yang tertindas. Namun iman tidak dapat direduksi menjadi perbuatan belaka. Iman “selalu lebih besar” dan selalu harus mencakup kontemplasi dan ucapan syukur mendalam. Dalam Laborem Exercens, Yohanes Paulus II melukiskan bahwa akar keadaan penindasan, kemiskinan, dan pembodohan ini adalah kekuasaan modal keuangan. Penyalahgunaan kekuasaan dan uang akan menimbulkan kehancuran dan penghancuran dalam diri manusia.
Oleh karena itu, berpolitik merupakan seni menghayati atau mengimani Alkitab dan Gereja untuk diimplementasikan guna menyucikan umat manusia dari dosa pribadi, dosa ekonomi, dosa sosial, dosa hukum, bahkan dosa dari segala dosa (dosa asal); dan membebaskan umat manusia dari penindasan, kemiskinan, kebelengguan struktur/sistem, kebodohan, intimidasi dan pembunuhan.

Share on Google Plus

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

0 komentar:

Posting Komentar