Sinyalemen
Amien Rais benar, “demokrasi kita mulai timpang, DPR kembali menjadi rubber stamp seperti era Orde Baru
dulu.” Tetapi di balik itu, pendapat Kang Sobari juga tidak salah, sekarang
ini, “zaman omong kosong .“ DPR yang dulu dikenal tukang stempel sekarang rajin
mengkritik, teriak keras, dan jagoan. Mereka terkesan luar biasa beraninya, rajin
mengajukan interplasi dan angket, tapi akhirnya kandas di jalan karena
sandiwara. Setiap sidang paripurna misalnya, selalu diwarnai hujan interupsi,
seolah-olah sedang menjalankan demokrasi. Padahal akhirnya berbalik seratus
delapan puluh derajat, seperti ketika berbicara kenaikan BBM dan impor beras.
Siapapun yang berurusan dengan DPR dibikin babak belur, rasa ngilunya belum
tentu sembuh setelah dua bulan.
Hujan interupsi menjadi cermin
keseharian dalam sidang DPR. Namun keberanian itu, bukan gambaran DPR lebih
baik dibanding dulu. Dalam banyak hal; wawasan politik, sikap politik,
kepentingan politik, fanatisme partai, dan etika politiknya memalukan. Syahwat
politiknya primitif hanya mengejar kursi, mempertahankan jabatan dan berebut
kekuasaan. Studi banding ke luar negeri yang dilakukan hanya
menghambur-hamburkan uang rakyat, tanpa hasil. Kita malu memiliki wakil rakyat
yang seharusnya berjuang membela rakyat, tapi justru mengkhianati moralitas
politik yang mereka emban. Hasil survei Transparency
Internasional Indonesia dan ICW merupakan institusi terkorup di luar
birokrasi pemerintah. Lantas apa yang dapat dipetik dari elite partai seperti
itu?
Tantangan
Ke Depan
Kalau
kita amati secara cermat, persoalan pokoknya adalah p[artai politik masih
sekadar kumpulan elite yang berburu uang.
Kader mereka di DPR dan DPRD lebih sebagai wakil partai daripada wakil
rakyat. selain itu, kultur politik di antara elite partai masih feodal. Sesuatu
yang ironis bahwa struktur politik secara makro bergerak ke arah demokratisasi
tapi pilar demokrsinya sendiri tetap memelihara nilai-nilai paternalisik yang
cenderung otoriter. Tidak sedikit tokoh partai menunjukkan perilaku yang
berorientasi kepentingan diri sendiri dan kelompok. Perilaku demikian
menimbulkan sikap tidak simpati di mata rakyat. Hingga citra elite partai di
mata rakyat, kini berada pada titik nadir.
Dalam kaitan itu, agenda yang
mendesak untuk dibenahi adalah menjalankan fungsi standar partai, seperti
pendidikan politik, komunikasi politik, agregasi dan artikulasi politik,
rekrutmen dan pengkaderan. Perihal yang disebutkan terakhir, partau harus
mendidik kader yang memadai guna menjalankan organisasi partai. Dengan demikian
mereka akan memiliki karakter bahwa keberadaanya sebagai kader partai merupakan
bagian dari keyakinan terhadap keberadaan partai.
Inheren dengan itu, perlu pengenalan
aturan main dalam menetapkan pimpinan partai melalui AD/ART, termasuk siapa
yang berhak duduk sebagai pimpinan, syarat keanggotaan, jenjang karir dan
kecakapan kerja. Selain itu, perlu disepakati hal-hal yang berhubungan dengan
pengangkatan anggota baru, terutama bila yang bersangkutan diusulkan menjadi
pimpinan partai. Ini untuk menghindari kader kutu loncat yang kini bertebaran
di hampir semua partai.
Selain itu, dibutuhkan pimpinan
partai yang mampu menterjemahkan visi dan misi partai, termasuk pandangan
pimpinan partai terhadap program,
platform, sampai pembagian kerja dalam struktur partai. Semua itu penting karena
sumber konflik internal yang muncul dalam partai setiap kali digelar perhelatan
partai seperti Kongres, Munas, atau Muktamar selalu berawal dari persoalan itu.
Dengan demikian, kader partai harus
digembleng agar mempunyai keterampilan menerjemahkan ideologi partai menjadi
kebijakan publik (Triardianto, 2005). Selain itu, mereka perlu dididik memiliki
semangat kebersamaan, kesetaraan, sportifitas sebagai landasan demokrasi.
Setiap kader, punya kesempatan yang sama untuk meniti karier sampai jenjang
tertinggi dalam partai.
Tanpa kaderisasi, partai politik
hanya menjadi institusi yang menjadi instrumen perebutan kekuasaan demi uang
dan kekuasaan itu sendiri. Bila partai tidak melakukan pengkaderan hal itu
tidak hanya berdampak pada negatif terhadap kelangsungan hidup partai,
melainkan taruhan yang paling buruk akan menimpa kelangsungan hidup bernegara
dan berbangsa.
Untuk itu, diperlukan tindakan
nyata: (1) melibatkan negara dalam membuat aturan main terutama dalam mendorong
akselerasi demokrasi dan mewujudkan civil
society dan good governance dalam
masyarakat; (2) perlu pembenahan secara konkrit dan realisasi di tubuh partai,
mulai dari pembuatan platform, visi, dan program partai yang berorientasi pada
kesejahteraan rakyat.
Selain itu, masa depan partai
tergantung pada sejauh mana elite partai secara terus menerus mampu membaca
tanda-tnda zaman secara keritis. Termasuk bagaimana memperluas jaringan cermat
dalam mengantisipasi perkembangan politik di tingkat nasional dan daerah.
Sehingga, siapapun yang memimpin partai tidak terjebak pada kesalahan masa lalu
yang menimbulkan trauma sejarah yang sampai kini sulit dihilangkan. Ini menjadi
tantangan kita ke-depan.
Elite Partai
Selanjutnya
wajah elite partai dalam konfigurasi politik nasional mencerminkan perpecahan
ketimbang menghasilkan konsensus nasional sebagai landasan perubahan,
melaksanakan amanat reformasi terutama partai besar, seperti; Golkar, PDI-P,
PPP, PKB, Partai Demokrat, PAN dan NASDEM. Partai-parrtai politik muncul
sebagai pembela kepentingan kelompok dan golongan ketimbang kepentingan publik.
Dampaknya muncul politik dagang sapi, sebuah tradisi di mana aliansi di
kalangan mereka bukan didasarkan pada ideologi dan visi politik tetapi
disatukan oleh kepentingan pragmatisme (asas keuntungan). Selain itu, money politics sebagai sebuah praktik
kotor yang merusak sendi-sendi demokrasi senantiasa tercium baunya tapi nyaris
tak terungkap dan sulit dibuktikan. Fenomena politik seperti itu tentu kian
menjauhkan partai dari aspirasi rakyat hingga rkyat sinis terhadap kehidupan
elite / kader partai.
Kehadiran partai yang dikendalikan
politisi badut yang tak bervisi atau berjuang dalam partai hanya sebagai
sampingan, membuat arah politik semakin tak jelas mau di bawa ke mana negeri /
bangsa ini. Lebih parah keberadaan elite partai kian menambah masalah, ketimbang
menyelesaikan masalah, karena tidak ada gagasan orisinil untuk mencari
terobosan, mencairkan kebekuan dan solusi guna menyelesaikan berbagai masalah
nasional yang terus menimpa Negara kita. Kondisi objektif partai kini tak jauh
berbeda dengan model lama, menghasilkan corak kepemimpinan sama dalam arti
melanggengkan status quo. Kerakusan
terhadap kekuasaan menjadi kian menonjol, sementara aspirasi rakyat semakin
diabaikan dan dilupakan.
Tatkala partai dirundung konflik,
mereka pura-pura sibuk mengurus partai, dan tak ada waktu untuk berjuang
menyuarakan aspirasi rkyat, mempengaruhi regulasi state yang memihak kepada kepentingan rkyat, melakukan check and balance terhadap kebijakan
negara dan melakukan pendidikan politik bagi konstituen. Pendek kata, mereka
hanya memikirkan diri sendiri dan bagaimana menjadi kaya dengan uang rakyat dan
jika perlu memeras kiri kanan atau pejabat di daerah.
Dalam kondisi seperti itu, penting
kiranya digalak-galakkan program pemberdayaan dan kesadaran elite partai. Tidak
hanya masa yang memerlukan pendidikan politik, tetapi elite partai juga perlu
diberdayakan. Elite partai tidak sadar, bahwa rakyat sekarang sudah keritis dan
sulit dibohongi. Rakyat mencermati perilaku elite, sehingga jika mereka
menyelewengkan kepercayaan yang tela diberikan rakyat, pasti ditinggal mereka.
Jika persoalan ini tidak dibenahi secara kompherensif, pertanda elite partai
sedang mandul, tak tahu harus berbuat apa.
0 komentar:
Posting Komentar